Minggu, 16 Januari 2011

stok

Proklamasi Kemerdekaan, yang kita peringati setiap tanggal 17 Agustus, adalah sebuah peristiwa bersejarah bagi
bangsa Indonesia . Proklamasi, telah mengubah perjalanan sejarah, membangkitkan rakyat dalam semangat
kebebasan. Merdeka dari segala bentuk penjajahan.
Bagaimanakah sesungguhnya, peristiwa yang terjadi 61 tahun yang lalu itu. Mari kita buka kembali catatan sejarah
sekitar Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.Perdebatan
Proklamasi, ternyata didahului oleh perdebatan hebat antara golongan pemuda dengan golongan tua. Baik golongan tua
maupun golongan muda, sesungguhnya sama-sama menginginkan secepatnya dilakukan Proklamasi Kemerdekaan
dalam suasana kekosongan kekuasaan dari tangan pemerintah Jepang. Hanya saja, mengenai cara melaksanakan
proklamasi itu terdapat perbedaan pendapat. Golongan tua, sesuai dengan perhitungan politiknya, berpendapat bahwa
Indonesia dapat merdeka tanpa pertumpahan darah, jika tetap bekerjasama dengan Jepang.
Karena itu, untuk memproklamasikan kemerdekaan, diperlukan suatu revolusi yang terorganisir. Soekarno dan Hatta,
dua tokoh golongan tua, bermaksud membicarakan pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan dalam rapat Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Dengan cara itu, pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan tidak menyimpang
dari ketentuan pemerintah Jepang. Sikap inilah yang tidak disetujui oleh golongan pemuda. Mereka menganggap,
bahwa PPKI adalah badan buatan Jepang. Sebaliknya, golongan pemuda menghendaki terlaksananya Proklamasi
Kemerdekaan itu, dengan kekuatan sendiri. Lepas sama sekali dari campur tangan pemerintah Jepang. Perbedaan
pendapat ini, mengakibatkan penekanan-penekanan golongan pemuda kepada golongan tua yang mendorong mereka
melakukan “aksi penculikan” terhadap diri Soekarno-Hatta (lihat Marwati Djoened Poesponegoro, ed.
1984:77-81)
Tanggal 15 Agustus 1945, kira-kira pukul 22.00, di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, tempat kediaman Bung
Karno, berlangsung perdebatan serius antara sekelompok pemuda dengan Bung Karno mengenai Proklamasi
Kemerdekaan sebagaimana dilukiskan Lasmidjah Hardi (1984:58); Ahmad Soebardjo (1978:85-87) sebagai berikut:
" Sekarang Bung, sekarang! malam ini juga kita kobarkan revolusi !" kata Chaerul Saleh dengan meyakinkan Bung
Karno bahwa ribuan pasukan bersenjata sudah siap mengepung kota dengan maksud mengusir tentara Jepang. " Kita
harus segera merebut kekuasaan !" tukas Sukarni berapi-api. " Kami sudah siap mempertaruhkan jiwa kami !" seru
mereka bersahutan. Wikana malah berani mengancam Soekarno dengan pernyataan; " Jika Bung Karno tidak
mengeluarkan pengumuman pada malam ini juga, akan berakibat terjadinya suatu pertumpahan darah dan pembunuhan
besar-besaran esok hari ."
Mendengar kata-kata ancaman seperti itu, Soekarno naik darah dan berdiri menuju Wikana sambil berkata: " Ini batang
leherku, seretlah saya ke pojok itu dan potonglah leherku malam ini juga! Kamu tidak usah menunggu esok hari !". Hatta
kemudian memperingatkan Wikana; "... Jepang adalah masa silam. Kita sekarang harus menghadapi Belanda yang
akan berusaha untuk kembali menjadi tuan di negeri kita ini. Jika saudara tidak setuju dengan apa yang telah saya
katakan, dan mengira bahwa saudara telah siap dan sanggup untuk memproklamasikan kemerdekaan, mengapa
saudara tidak memproklamasikan kemerdekaan itu sendiri ? Mengapa meminta Soekarno untuk melakukan hal itu ?"
Namun, para pemuda terus mendesak; " apakah kita harus menunggu hingga kemerdekaan itu diberikan kepada kita
sebagai hadiah, walaupun Jepang sendiri telah menyerah dan telah takluk dalam 'Perang Sucinya '!". " Mengapa bukan
rakyat itu sendiri yang memproklamasikan
kemerdekaannya ? Mengapa bukan kita yang menyatakan
kemerdekaan
kita sendiri, sebagai suatu bangsa ?". Dengan lirih, setelah amarahnya reda, Soekarno berkata; "... kekuatan yang
segelintir ini tidak cukup untuk melawan kekuatan bersenjata dan kesiapan total tentara Jepang! Coba, apa yang bisa
kau perlihatkan kepada saya ? Mana bukti kekuatan yang diperhitungkan itu ? Apa tindakan bagian keamananmu untuk
menyelamatkan perempuan dan anak-anak ? Bagaimana cara mempertahankan kemerdekaan setelah diproklamasikan
? Kita tidak akan mendapat bantuan dari Jepang atau Sekutu. Coba bayangkan, bagaimana kita akan tegak di atas
kekuatan sendiri ". Demikian jawab Bung Karno dengan tenang.
Para pemuda, tetap menuntut agar Soekarno-Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan. Namun, kedua tokoh itu
pun, tetap pada pendiriannya semula. Setelah berulangkali didesak oleh para pemuda, Bung Karno menjawab bahwa ia
tidak bisa memutuskannya sendiri, ia harus berunding dengan para tokoh lainnya. Utusan pemuda mempersilahkan
Bung Karno untuk berunding. Para tokoh yang hadir pada waktu itu antara lain, Mohammad Hatta, Soebardjo, Iwa
Kusumasomantri, Djojopranoto, dan Sudiro. Tidak lama kemudian, Hatta menyampaikan keputusan, bahwa usul para
pemuda tidak dapat diterima dengan alasan kurang perhitungan serta kemungkinan timbulnya banyak korban jiwa dan
harta. Mendengar penjelasan Hatta, para pemuda nampak tidak puas. Mereka mengambil kesimpulan yang
menyimpang; menculik Bung Karno dan Bung Hatta dengan maksud menyingkirkan kedua tokoh itu dari pengaruh
Jepang.
Pukul 04.00 dinihari, tanggal 16 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta oleh sekelompok pemuda dibawa ke
Rengasdengklok. Aksi "penculikan" itu sangat mengecewakan Bung Karno, sebagaimana dikemukakan Lasmidjah Hardi
(1984:60). Bung Karno marah dan kecewa, terutama karena para pemuda tidak mau mendengarkan pertimbangannya
yang sehat. Mereka menganggap perbuatannya itu sebagai tindakan patriotik. Namun, melihat keadaan dan situasi yang
panas, Bung Karno tidak mempunyai pilihan lain, kecuali mengikuti kehendak para pemuda untuk dibawa ke tempat
yang mereka tentukan. Fatmawati istrinya, dan Guntur yang pada waktu itu belum berumur satu tahun, ia ikut sertakan.
Rengasdengklok kota kecil dekat Karawang dipilih oleh para pemuda untuk mengamankan Soekarno-Hatta dengan
perhitungan militer; antara anggota PETA (Pembela Tanah Air) Daidan Purwakarta dengan Daidan Jakarta telah terjalin
hubungan erat sejak mereka mengadakan latihan bersama-sama. Di samping itu, Rengasdengklok letaknya terpencil
sekitar 15 km. dari Kedunggede Karawang. Dengan demikian, deteksi dengan mudah dilakukan terhadap setiap gerakan
tentara Jepang yang mendekati Rengasdengklok, baik yang datang dari arah Jakarta maupun dari arah Bandung atau
Jawa Tengah.
Sehari penuh, Soekarno dan Hatta berada di Rengasdengklok. Maksud para pemuda untuk menekan mereka, supaya
segera melaksanakan Proklamasi Kemerdekaan terlepas dari segala kaitan dengan Jepang, rupa-rupanya tidak
membuahkan hasil. Agaknya keduanya memiliki wibawa yang cukup besar. Para pemuda yang membawanya ke
Rengasdengklok, segan untuk melakukan penekanan terhadap keduanya. Sukarni dan kawan-kawannya, hanya dapat
mendesak Soekarno-Hatta untuk menyatakan proklamasi secepatnya seperti yang telah direncanakan oleh para
pemuda di Jakarta . Akan tetapi, Soekarno-Hatta tidak mau didesak begitu saja. Keduanya, tetap berpegang teguh pada
perhitungan dan rencana mereka sendiri. Di sebuah pondok bambu berbentuk panggung di tengah persawahan
Rengasdengklok, siang itu terjadi perdebatan panas; " Revolusi berada di tangan kami sekarang dan kami
memerintahkan Bung, kalau Bung tidak memulai revolusi malam ini, lalu ...". " Lalu apa ?" teriak Bung Karno sambil
beranjak dari kursinya, dengan kemarahan yang menyala-nyala. Semua terkejut, tidak seorang pun yang bergerak atau
berbicara.
Waktu suasana tenang kembali. Setelah Bung Karno duduk. Dengan suara rendah ia mulai berbicara; " Yang paling
penting di dalam peperangan dan revolusi adalah saatnya yang tepat. Di Saigon, saya sudah merencanakan seluruh
pekerjaan ini untuk dijalankan tanggal 17 ". " Mengapa justru diambil tanggal 17, mengapa tidak sekarang saja, atau
tanggal 16 ?" tanya Sukarni. " Saya seorang yang percaya pada mistik”. Saya tidak dapat menerangkan dengan
pertimbangan akal, mengapa tanggal 17 lebih memberi harapan kepadaku. Akan tetapi saya merasakan di dalam
kalbuku, bahwa itu adalah saat yang baik. Angka 17 adalah angka suci. Pertama-tama kita sedang berada dalam bulan
suci Ramadhan, waktu kita semua berpuasa, ini berarti saat yang paling suci bagi kita. tanggal 17 besok hari Jumat, hari
Jumat itu Jumat legi, Jumat yang berbahagia, Jumat suci. Al-Qur'an diturunkan tanggal 17, orang Islam sembahyang 17
rakaat, oleh karena itu kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia ". Demikianlah antara lain dialog antara Bung Karno
dengan para pemuda di Rengasdengklok sebagaimana ditulis Lasmidjah Hardi (1984:61).
Sementara itu, di Jakarta, antara Mr. Ahmad Soebardjo dari golongan tua dengan Wikana dari golongan muda
membicarakan kemerdekaan yang harus dilaksanakan di Jakarta . Laksamana Tadashi Maeda, bersedia untuk
menjamin keselamatan mereka selama berada di rumahnya. Berdasarkan kesepakatan itu, Jusuf Kunto dari pihak
pemuda, hari itu juga mengantar Ahmad Soebardjo bersama sekretaris pribadinya, Sudiro, ke Rengasdengklok untuk
menjemput Soekarno dan Hatta. Rombongan penjemput tiba di Rengasdengklok sekitar pukul 17.00. Ahmad Soebardjo
memberikan jaminan, bahwa Proklamasi Kemerdekaan akan diumumkan pada tanggal 17 Agustus 1945, selambatlambatnya
pukul 12.00. Dengan jaminan itu, komandan kompi PETA setempat, Cudanco Soebeno, bersedia
melepaskan Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta (Marwati Djoened Poesponegoro, ed. 1984:82-83).Merumuskan
Teks Proklamasi
Rombongan Soekarno-Hatta tiba di Jakarta sekitar pukul 23.00. Langsung menuju rumah Laksamana Tadashi Maeda di
Jalan Imam Bonjol No.1, setelah lebih dahulu menurunkan Fatmawati dan putranya di rumah Soekarno. Rumah
Laksamada Maeda, dipilih sebagai tempat penyusunan teks Proklamasi karena sikap Maeda sendiri yang memberikan
jaminan keselamatan pada Bung Karno dan tokoh-tokoh lainnya. De Graff yang dikutip Soebardjo (1978:60-61)
melukiskan sikap Maeda seperti ini. Sikap dari Maeda tentunya memberi kesan aneh bagi orang-orang Indonesia itu,
karena perwira Angkatan Laut ini selalu berhubungan dengan rakyat Indonesia.
Sebagai seorang perwira Angkatan Laut yang telah melihat lebih banyak dunia ini dari rata-rata seorang perwira
Angkatan Darat , ia mempunyai pandangan yang lebih tepat tentang keadaan dari orang-orang militer yang agak sempit
pikirannya. Ia dapat berbicara dalam beberapa bahasa. Ia adalah pejabat yang bertanggungjawab atas Bukanfu di
Batavia; kantor pembelian Angkatan Laut di Indonesia. Ia tidak khusus membatasi diri hanya pada tugas-tugas militernya
saja, tetapi agar dirinya dapat terbiasa dengan suasana di Jawa , ia membentuk suatu kantor penerangan bagi dirinya di
tempat yang sama yang pimpinannya dipercayakan kepada Soebardjo. Melalui kantor inilah, yang menuntut biaya yang
tidak sedikit baginya, ia mendapatkan pengertian tentang masalah-masalah di Jawa lebih baik dari yang didapatnya dari buletin-buletin resmi Angkatan Darat. Terlebih-lebih ia memberanikan diri untuk mendirikan asrama-asrama bagi
nasionalis-nasionalis muda Indonesia . Pemimpin-pemimpin terkemuka, diperbantukan sebagai guru-guru untuk
mengajar di asrama itu. Doktrin-doktrin yang agak radikal dipropagandakan. Lebih lincah dari orang-orang militer, ia
berhasil mengambil hati dari banyak nasionalis yang tahu pasti bahwa keluhan-keluhan dan keberatan-keberatan
mereka selalu bisa dinyatakan kepada Maeda. Sikap Maeda seperti inilah yang memberikan keleluasaan kepada para
tokoh nasionalis untuk melakukan aktivitas yang maha penting bagi masa depan bangsanya.
Malam itu, dari rumah Laksamana Maeda, Soekarno dan Hatta ditemani Laksamana Maeda menemui Somobuco
(kepala pemerintahan umum), Mayor Jenderal Nishimura, untuk menjajagi sikapnya mengenai pelaksanaan Proklamasi
Kemerdekaan. Nishimura mengatakan bahwa karena Jepang sudah menyatakan menyerah kepada Sekutu, maka
berlaku ketentuan bahwa tentara Jepang tidak diperbolehkan lagi mengubah status quo . Tentara Jepang diharuskan
tunduk kepada perintah tentara Sekutu. Berdasarkan garis kebi jakan
itu, Nishimura melarang Soekarno-Hatta
mengadakan rapat PPKI dalam rangka pelaksanaan Proklamasi Kemerde kaan.
Melihat kenyataan ini, Soekarno-Hatta
sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada gunanya lagi untuk membicarakan
soal kemerdekaan Indonesia dengan
Jepang. Mereka hanya berharap agar pihak Jepang tidak menghalang-ha langi
pelaksanaan proklamasi kemerdekaan
oleh rakyat Indonesia sendiri (Hatta, 1970:54-55).
Setelah pertemuan itu, Soekarno dan Hatta kembali ke rumah Laksamana Maeda. Di ruang makan rumah Laksamana
Maeda itu dirumuskan teks proklamasi kemerdekaan. Maeda, sebagai tuan rumah, mengundurkan diri ke kamar tidurnya
di lantai dua ketika peristiwa bersejarah itu berlangsung. Miyoshi, orang kepercayaan Nishimura, bersama Sukarni,
Sudiro, dan B.M. Diah menyaksikan Soekarno, Hatta, dan Ahmad Soebardjo membahas rumusan teks Proklamasi.
Sedangkan tokoh-tokoh lainnya, baik dari golongan tua maupun dari golongan pemuda, menunggu di serambi muka.
Menurut Soebardjo (1978:109) di ruang makan rumah Laksamana Maeda menjelang tengah malam, rumusan teks
Proklamasi yang akan dibacakan esok harinya disusun. Soekarno menuliskan konsep proklamasi pada secarik kertas.
Hatta dan Ahmad Soebardjo menyumbangkan pikirannya secara lisan. Kalimat pertama dari teks Proklamasi merupakan
saran Ahmad Soebardjo yang diambil dari rumusan Dokuritsu Junbi Cosakai , sedangkan kalimat terakhir merupakan
sumbangan pikiran Mohammad Hatta. Hatta menganggap kalimat pertama hanyalah merupakan pernyataan dari
kemauan bangsa Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri, menurut pendapatnya perlu ditambahkan pernyataan
mengenai pengalihan kekuasaan (transfer of sovereignty). Maka dihasilkanlah rumusan terakhir dari teks proklamasi itu.
Setelah kelompok yang menyendiri di ruang makan itu selesai merumuskan teks Proklamasi, kemudian mereka menuju
serambi muka untuk menemui hadirin yang berkumpul di ruangan itu. Saat itu, dinihari menjelang subuh. Jam
menunjukkan pukul 04.00, Soekarno mulai membuka pertemuan itu dengan membacakan rumusan teks Proklamasi
yang masih merupakan konsep. Soebardjo (1978:109-110) melukiskan suasana ketika itu: “ Sementara teks
Proklamasi ditik, kami menggunakan kesempatan untuk mengambil makanan dan minuman dari ruang dapur, yang telah
disiapkan sebelumnya oleh tuan rumah kami yang telah pergi ke kamar tidurnya di tingkat atas. Kami belum makan apaapa,
ketika meninggalkan Rengasdengklok. Bulan itu adalah bulan suci Ramadhan dan waktu hampir habis untuk
makan sahur, makan terakhir sebelum sembahyang subuh. Setelah kami terima kembali teks yang telah ditik, kami
semuanya menuju ke ruang besar di bagian depan rumah. Semua orang berdiri dan tidak ada kursi di dalam ruangan.
Saya bercampur dengan beberapa anggota Panitia di tengah-tengah ruangan. Sukarni berdiri di samping saya. Hatta
berdiri mendampingi Sukarno menghadap para hadirin . Waktu menunjukkan pukul 04.00 pagi tanggal 17 Agustus 1945,
pada saat Soekarno membuka pertemuan dini hari itu dengan beberapa patah kata.
"Keadaan yang mendesak telah memaksa kita semua mempercepat pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan.
Rancangan teks telah siap dibacakan di hadapan saudara-saudara dan saya harapkan benar bahwa saudara-saudara
sekalian dapat menyetujuinya sehingga kita dapat berjalan terus dan menyelesaikan pekerjaan kita sebelum fajar
menyingsing". Kepada mereka yang hadir, Soekarno menyarankan agar bersama-sama menandatangani naskah
proklamasi selaku wakil-wakil bangsa Indonesia . Saran itu diperkuat oleh Mohammad Hatta dengan mengambil contoh
pada "Declaration of Independence " Amerika Serikat. Usul itu ditentang oleh pihak pemuda yang tidak setuju kalau
tokoh-tokoh golongan tua yang disebutnya "budak-budak Jepang" turut menandatangani naskah proklamasi. Sukarni
mengusulkan agar penandatangan naskah proklamasi itu cukup dua orang saja, yakni Soekarno dan Mohammad Hatta
atas nama bangsa Indonesia . Usul Sukarni itu diterima oleh hadirin.
Naskah yang sudah diketik oleh Sajuti Melik, segera ditandatangani oleh Soekarno dan Mohammad Hatta. Persoalan
timbul mengenai bagaimana Proklamasi itu harus diumumkan kepada rakyat di seluruh Indonesia , dan juga ke seluruh
pelosok dunia. Di mana dan dengan cara bagaimana hal ini harus diselenggarakan? Menurut Soebardjo (1978:113),
Sukarni kemudian memberitahukan bahwa rakyat Jakarta dan sekitarnya, telah diserukan untuk datang berbondongbondong
ke lapangan IKADA pada tanggal 17 Agustus untuk mendengarkan Proklamasi Kemerdekaan. Akan tetapi
Soekarno menolak saran Sukarni. " Tidak ," kata Soekarno, " lebih baik dilakukan di tempat kediaman saya di
Pegangsaan Timur. Pekarangan di depan rumah cukup luas untuk ratusan orang. Untuk apa kita harus memancingmancing
insiden ? Lapangan IKADA adalah lapangan umum. Suatu rapat umum, tanpa diatur sebelumnya dengan
penguasa-penguasa militer, mungkin akan menimbulkan salah faham. Suatu bentrokan kekerasan antara rakyat dan
penguasa militer yang akan membubarkan rapat umum tersebut, mungkin akan terjadi. Karena itu, saya minta saudara
sekalian untuk hadir di Pegangsaan Timur 56 sekitar pukul 10.00 pagi ." Demikianlah keputusan terakhir dari pertemuan itu.Detik-Detik Proklamasi
Hari Jumat di bulan Ramadhan, pukul 05.00 pagi, fajar 17 Agustus 1945 memancar di ufuk timur. Embun pagi masih
menggelantung di tepian daun. Para pemimpin bangsa dan para tokoh pemuda keluar dari rumah Laksamana Maeda,
dengan diliputi kebanggaan setelah merumuskan teks Proklamasi hingga dinihari. Mereka, telah sepakat untuk
memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia hari itu di rumah Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur No. 56
Jakarta, pada pukul 10.00 pagi. Bung Hatta sempat berpesan kepada para pemuda yang bekerja pada pers dan kantorkantor
berita, untuk memperbanyak naskah proklamasi dan menyebarkannya ke seluruh dunia (Hatta, 1970:53).
Menjelang pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan, suasana di Jalan Pegangsaan Timur 56 cukup sibuk. Wakil Walikota,
Soewirjo, memerintahkan kepada Mr. Wilopo untuk mempersiapkan peralatan yang diperlukan seperti mikrofon dan
beberapa pengeras suara. Sedangkan Sudiro memerintahkan kepada S. Suhud untuk mempersiapkan satu tiang
bendera. Karena situasi yang tegang, Suhud tidak ingat bahwa di depan rumah Soekarno itu, masih ada dua tiang
bendera dari besi yang tidak digunakan. Malahan ia mencari sebatang bambu yang berada di belakang rumah. Bambu
itu dibersihkan dan diberi tali. Lalu ditanam beberapa langkah saja dari teras rumah. Bendera yang dijahit dengan tangan
oleh Nyonya Fatmawati Soekarno sudah disiapkan. Bentuk dan ukuran bendera itu tidak standar, karena kainnya
berukuran tidak sempurna. Memang, kain itu awalnya tidak disiapkan untuk bendera.
Sementara itu, rakyat yang telah mengetahui akan dilaksanakan Proklamasi Kemerdekaan telah berkumpul. Rumah
Soekarno telah dipadati oleh sejumlah massa pemuda dan rakyat yang berbaris teratur. Beberapa orang tampak gelisah,
khawatir akan adanya pengacauan dari pihak Jepang. Matahari semakin tinggi, Proklamasi belum juga dimulai. Waktu
itu Soekarno terserang sakit, malamnya panas dingin terus menerus dan baru tidur setelah selesai merumuskan teks
Proklamasi. Para undangan telah banyak berdatangan, rakyat yang telah menunggu sejak pagi, mulai tidak sabar lagi.
Mereka yang diliputi suasana tegang berkeinginan keras agar Proklamasi segera dilakukan. Para pemuda yang tidak
sabar, mulai mendesak Bung Karno untuk segera membacakan teks Proklamasi. Namun, Bung Karno tidak mau
membacakan teks Proklamasi tanpa kehadiran Mohammad Hatta. Lima menit sebelum acara dimulai, Mohammad Hatta
datang dengan pakaian putih-putih dan langsung menuju kamar Soekarno. Sambil menyambut kedatangan Mohammad
Hatta, Bung Karno bangkit dari tempat tidurnya, lalu berpakaian. Ia juga mengenakan stelan putih-putih. Kemudian
keduanya menuju tempat upacara.
Marwati Djoened Poesponegoro (1984:92-94) melukiskan upacara pembacaan teks Proklamasi itu. Upacara itu
berlangsung sederhana saja. Tanpa protokol. Latief Hendraningrat, salah seorang anggota PETA, segera memberi abaaba
kepada seluruh barisan pemuda yang telah menunggu sejak pagi untuk berdiri. Serentak semua berdiri tegak
dengan sikap sempurna. Latief kemudian mempersilahkan Soekarno dan Mohammad Hatta maju beberapa langkah
mendekati mikrofon. Dengan suara mantap dan jelas, Soekarno mengucapkan pidato pendahuluan singkat sebelum
membacakan teks proklamasi.
"Saudara-saudara sekalian ! saya telah minta saudara hadir di sini, untuk menyaksikan suatu peristiwa maha penting
dalam sejarah kita. Berpuluh-puluh tahun kita bangsa Indonesia telah berjuang untuk kemerdekaan tanah air kita.
Bahkan telah beratus-ratus tahun. Gelombangnya aksi kita untuk mencapai kemerdekaan kita itu ada naiknya ada
turunnya. Tetapi jiwa kita tetap menuju ke arah cita-cita. Juga di dalam jaman Jepang, usaha kita untuk mencapai
kemerdekaan nasional tidak berhenti. Di dalam jaman Jepang ini tampaknya saja kita menyandarkan diri kepada
mereka. Tetapi pada hakekatnya, tetap kita menyusun tenaga kita sendiri. Tetap kita percaya pada kekuatan sendiri.
Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil nasib bangsa dan nasib tanah air kita di dalam tangan kita
sendiri. Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri, akan dapat berdiri dengan kuatnya. Maka
kami, tadi malam telah mengadakan musyawarah dengan pemuka-pemuka rakyat Indonesia dari seluruh Indonesia ,
permusyawaratan itu seia-sekata berpendapat, bahwa sekaranglah datang saatnya untuk menyatakan kemerdekaan kita.
Saudara-saudara! Dengan ini kami menyatakan kebulatan tekad itu. Dengarkanlah Proklamasi kami: PROKLAMASI;
Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia . Hal-hal yang mengenai pemindahan
kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Jakarta ,
17 Agustus 1945. Atas nama bangsa Indonesia Soekarno/Hatta.
Demikianlah saudara-saudara! Kita sekarang telah merdeka. Tidak ada satu ikatan lagi yang mengikat tanah air kita dan
bangsa kita! Mulai saat ini kita menyusun Negara kita! Negara Merdeka. Negara Republik Indonesia merdeka, kekal, dan
abadi. Insya Allah, Tuhan memberkati kemerdekaan kita itu". (Koesnodiprojo, 1951).
Acara, dilanjutkan dengan pengibaran bendera Merah Putih. Soekarno dan Hatta maju beberapa langkah menuruni anak
tangga terakhir dari serambi muka, lebih kurang dua meter di depan tiang. Ketika S. K. Trimurti diminta maju untuk
mengibarkan bendera, dia menolak: " lebih baik seorang prajurit ," katanya. Tanpa ada yang menyuruh, Latief
Hendraningrat yang berseragam PETA berwarna hijau dekil maju ke dekat tiang bendera. S. Suhud mengambil bendera
dari atas baki yang telah disediakan dan mengikatnya pada tali dibantu oleh Latief Hendraningrat.
Bendera dinaikkan perlahan-lahan. Tanpa ada yang memimpin, para hadirin dengan spontan menyanyikan lagu
Indonesia Raya. Bendera dikerek dengan lambat sekali, untuk menyesuaikan dengan irama lagu Indonesia Raya yang cukup panjang. Seusai pengibaran bendera, dilanjutkan dengan pidato sambutan dari Walikota Soewirjo dan dr.
Muwardi.
Setelah upacara pembacaan Proklamasi Kemerdekaan, Lasmidjah Hardi (1984:77) mengemukakan bahwa ada
sepasukan barisan pelopor yang berjumlah kurang lebih 100 orang di bawah pimpinan S. Brata, memasuki halaman
rumah Soekarno. Mereka datang terlambat. Dengan suara lantang penuh kecewa S. Brata meminta agar Bung Karno
membacakan Proklamasi sekali lagi. Mendengar teriakan itu Bung Karno tidak sampai hati, ia keluar dari kamarnya. Di
depan corong mikrofon ia menjelaskan bahwa Proklamasi hanya diucapkan satu kali dan berlaku untuk selama-lamanya.
Mendengar keterangan itu Brata belum merasa puas, ia meminta agar Bung Karno memberi amanat singkat. Kali ini
permintaannya dipenuhi. Selesai upacara itu rakyat masih belum mau beranjak, beberapa anggota Barisan Pelopor
masih duduk-duduk bergerombol di depan kamar Bung Karno.
Tidak lama setelah Bung Hatta pulang, menurut Lasmidjah Hardi (1984:79) datang tiga orang pembesar Jepang. Mereka
diperintahkan menunggu di ruang belakang, tanpa diberi kursi. Sudiro sudah dapat menerka, untuk apa mereka datang.
Para anggota Barisan Pelopor mulai mengepungnya. Bung Karno sudah memakai piyama ketika Sudiro masuk,
sehingga terpaksa berpakaian lagi. Kemudian terjadi dialog antara utusan Jepang dengan Bung Karno: " Kami diutus
oleh Gunseikan Kakka, datang kemari untuk melarang Soekarno mengucapkan Proklamasi ." " Proklamasi sudah saya
ucapkan," jawab Bung Karno dengan tenang. " Sudahkah ?" tanya utusan Jepang itu keheranan. " Ya, sudah !" jawab
Bung Karno. Di sekeliling utusan Jepang itu, mata para pemuda melotot dan tangan mereka sudah diletakkan di atas
golok masing-masing. Melihat kondisi seperti itu, orang-orang Jepang itu pun segera pamit. Sementara itu, Latief
Hendraningrat tercenung memikirkan kelalaiannya. Karena dicekam suasana tegang, ia lupa menelpon Soetarto dari
PFN untuk mendokumentasikan peristiwa itu. Untung ada Frans Mendur dari IPPHOS yang plat filmnya tinggal tiga
lembar (saat itu belum ada rol film). Sehingga dari seluruh peristiwa bersejarah itu, dokumentasinya hanya ada tiga;
yakni sewaktu Bung Karno membacakan teks Proklamasi, pada saat pengibaran bendera, dan sebagian foto hadirin
yang menyaksikan peristiwa itu. Penutup
Peristiwa besar bersejarah yang telah mengubah jalan sejarah bangsa Indonesia itu berlangsung hanya satu jam,
dengan penuh kehidmatan. Sekalipun sangat sederhana, namun ia telah membawa perubahan yang luar biasa dalam
perjalanan sejarah bangsa Indonesia . “Gema lonceng kemerdekaan” terdengar ke seluruh pelosok
Nusantara dan menyebar ke seantero dunia. Para pemuda, mahasiswa, serta pegawai-pegawai bangsa Indonesia pada
jawatan-jawatan perhubungan yang penting giat bekerja menyiarkan isi proklamasi itu ke seluruh pelosok negeri. Para
wartawan Indonesia yang bekerja pada kantor berita Jepang Domei , sekalipun telah disegel oleh pemerintah Jepang,
mereka berusaha menyebarluaskan gema Proklamasi itu ke seluruh dunia.
Dirgahayu Indonesiaku!DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Soebardjo (1978). Lahirnya Republik Indonesia . Jakarta : Kinta.
Koesnodiprodjo (1951). Himpunan Undang-Undang, Peraturan-Peraturan, Penetapan-Penetapan Pemerintah Republik
Indonesia 1945. Jakarta .
Lasmidjah Hardi (1984). Samudera Merah Putih 19 September 1945 . Jilid 1. Jakarta : Pustaka Jaya.
Marwati Djoened Poesponegoro et. al. (1984). Sejarah Nasional Indonesia . Jilid 6. Jakarta : Balai Pustaka.
Mohammad Hatta (1970). Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945 . Jakarta : Tinta Mas.
Nugroho Notosusanto (1976). Naskah Proklamasi yang Otentik dan Rumusan Pancasila yang Otentik. Jakarta : Pusat
Sejarah ABRI.
Soekarno (1963 ). Sarinah; Kewadjiban Wanita Dalam Perdjoangan Republik Indonesia . Jakarta : Panitia Penerbit Buku-
Buku Karangan Presiden Soekarno.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar